Industri tekstil Indonesia tetap tangguh meskipun menghadapi tantangan besar akibat regulasi perdagangan baru, dengan para pemimpin industri mengadvokasi perbaikan sistemik untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan.

Menyusul regulasi perdagangan baru-baru ini, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024 terhadap industri tekstil nasional.

Ketua APSyFI, Redma Wirawasta, mengatakan bahwa regulasi baru ini memperparah masalah terkait praktik impor massal oleh oknum bea cukai yang tidak bertanggung jawab.

Redma menyoroti bahwa impor ilegal tekstil dan produk tekstil (TPT) telah terlihat jelas melalui perbedaan data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bea Cukai Tiongkok.

Menurutnya, perbedaan ini meningkat sebesar 166,66 persen, dari US$1,5 miliar pada tahun 2020 menjadi US$4 miliar tahun lalu (Rp65,8 triliun). Ia mengaitkan pertumbuhan ini dengan keterlibatan beberapa oknum bea cukai dalam memfasilitasi impor massal melalui manipulasi jalur impor merah dan hijau di pelabuhan.

Redma berpendapat bahwa masalah sistematis ini telah menyebabkan pemutusan hubungan kerja secara massal dan penutupan perusahaan dalam industri tekstil selama dua tahun terakhir.

Meskipun telah beberapa kali mencoba mengajukan perbaikan, termasuk penerapan sistem AI Scanner untuk pemeriksaan kontainer, upaya ini ditolak oleh Kementerian Keuangan.

Selain itu, Redma mengungkapkan kekhawatirannya terhadap praktik dumping oleh eksportir Tiongkok, yang melibatkan penjualan produk dengan harga lebih rendah dengan dukungan pemerintah untuk mendapatkan pangsa pasar.

Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui kekhawatiran ini, usulan langkah-langkah perlindungan pasar, seperti perpanjangan peraturan safeguard, telah terhenti selama lebih dari setahun.

Wakil Ketua Asosiasi Tekstil Indonesia (API), David Leonardi, menuntut pencabutan Peraturan No. 8, dengan mengutip penutupan 30 perusahaan tekstil dan pemutusan hubungan kerja 7.200 karyawan sejak penerapannya pada Mei 2024. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) juga melaporkan 13.800 pemutusan hubungan kerja di industri tekstil dan pakaian sejak Januari.

David menekankan bahwa jika masalah ini terus berlanjut, Indonesia berisiko menjadi negara perdagangan daripada negara produsen. Namun, Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa Peraturan No. 8/2024 masih memerlukan pertimbangan teknis untuk impor TPT dan tidak berdampak langsung pada operasi industri tekstil.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa regulasi ini tidak mempengaruhi persyaratan untuk mengimpor bahan baku untuk industri tekstil dan tidak terkait dengan tantangan yang dihadapi industri baru-baru ini. Ia mengatakan bahwa persyaratan teknis untuk TPT tetap tidak berubah, memastikan pengawasan regulasi yang berkelanjutan.

Meskipun menghadapi tantangan ini, para pemimpin industri tekstil tetap optimis dan mengadvokasi perbaikan sistemik untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan dan kompetitif bagi sektor tekstil Indonesia.